Revisi UU TNI 2025: Modernisasi atau Ancaman bagi Demokrasi?

Revisi UU TNI 2025: Modernisasi atau Ancaman bagi Demokrasi?

Wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang bergulir di tahun 2025 telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat dan kalangan pemerhati politik. judi online depo 10k Di satu sisi, revisi ini diklaim sebagai bentuk modernisasi dan adaptasi terhadap tantangan geopolitik serta dinamika keamanan nasional. Namun di sisi lain, sejumlah kalangan mengkhawatirkan bahwa perubahan ini justru menjadi ancaman serius bagi prinsip demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Latar Belakang Revisi UU TNI yang berlaku saat ini disahkan pada tahun 2004 sebagai bagian dari reformasi militer pasca-rezim Orde Baru. Undang-undang tersebut membatasi peran militer dalam urusan sipil dan menekankan netralitas TNI dalam politik. Namun, revisi yang diusulkan tahun ini disebut-sebut ingin memperluas kembali peran militer di luar pertahanan, termasuk keterlibatan dalam sektor-sektor non-militer seperti penanggulangan bencana, keamanan dalam negeri, bahkan pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah beralasan bahwa revisi ini penting agar TNI lebih fleksibel menghadapi ancaman non-tradisional, seperti terorisme, bencana alam, hingga konflik siber. Beberapa pihak juga menilai bahwa struktur hukum yang ada saat ini tidak lagi memadai untuk mendukung transformasi teknologi dan peran strategis TNI dalam konteks pertahanan global yang semakin kompleks. Sorotan dan Kritik Namun demikian, revisi ini memicu kekhawatiran luas dari akademisi, LSM, hingga politisi. Mereka menilai bahwa perluasan fungsi TNI ke ranah sipil berpotensi menggerus demokrasi. Salah satu poin krusial adalah kemungkinan TNI kembali terlibat aktif dalam urusan politik atau pengambilan keputusan sipil, yang selama ini dijaga ketat melalui prinsip "sipil supremasi". Kritik juga diarahkan pada kemungkinan mundurnya semangat reformasi yang telah susah payah dibangun pasca 1998. Banyak pihak mengingatkan akan bahaya militerisme dan otoritarianisme yang pernah mencengkram Indonesia. Apabila TNI kembali diberi wewenang luas tanpa kontrol sipil yang kuat, hal ini berpotensi memicu penyalahgunaan kekuasaan. Antara Keamanan dan Kebebasan Polemik revisi UU TNI mencerminkan tarik ulur antara kebutuhan memperkuat pertahanan negara dan menjaga tatanan demokrasi. Tidak dapat dipungkiri, tantangan keamanan masa kini memang semakin kompleks. Namun, memperluas peran militer ke ranah sipil bukanlah satu-satunya jalan keluar. Solusi lain yang lebih demokratis adalah memperkuat koordinasi antar lembaga sipil dan militer, meningkatkan kapasitas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta memperkuat Polri dalam penanganan keamanan dalam negeri. TNI tetap dibutuhkan sebagai garda pertahanan negara, namun perlu tetap dalam kerangka konstitusi yang menjamin keseimbangan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Perlu Dialog Nasional Revisi UU TNI 2025 sebaiknya tidak diputuskan secara terburu-buru tanpa keterlibatan publik yang luas. Proses demokrasi mensyaratkan adanya transparansi, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan strategis. Apakah revisi ini benar-benar merupakan langkah modernisasi yang dibutuhkan Indonesia? Ataukah menjadi ancaman serius terhadap prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan selama dua dekade terakhir? Jawaban atas pertanyaan itu hanya bisa ditemukan jika kita berani membuka ruang diskusi terbuka, kritis, dan bertanggung jawab. Pemerintah dan DPR harus mendengarkan suara rakyat, bukan hanya suara elite. Karena masa depan demokrasi Indonesia tak hanya ditentukan oleh niat baik, tetapi oleh sistem yang menjamin kekuasaan tetap dalam kendali rakyat sipil.
Pedagang Pernak-Pernik 17 Agustus di Pasar Mester Sepi, Omzet Turun Tajam

Pedagang Pernak-Pernik 17 Agustus di Pasar Mester Sepi, Omzet Turun Tajam

JAKARTA – Mendekati perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-80, suasana pasar tradisional Pasar Mester, Jatinegara, Jakarta Timur, rans4d tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Pedagang pernak-pernik khas 17 Agustus di kawasan ini mengeluhkan penurunan omzet yang sangat tajam akibat sepinya pembeli. Biasanya, awal Agustus menjadi masa panen bagi para penjual bendera merah putih, umbul-umbul, poster pahlawan, hingga aksesoris dekorasi merah putih. Namun tahun ini, harapan itu berubah menjadi kekecewaan. “Sudah tanggal 4 Agustus, tapi pembeli belum seramai biasanya. Padahal tahun lalu mulai ramai dari akhir Juli,” ujar Rina (45), pedagang bendera di Pasar Mester sejak 2010. Sepi Pembeli, Stok Menumpuk Pemandangan lapak penuh hiasan kemerdekaan tak lagi menarik banyak perhatian warga. Beberapa pedagang bahkan terlihat duduk termenung menunggu pembeli yang tak kunjung datang. “Biasanya saya bisa dapat omzet Rp5-7 juta per hari saat puncak. Sekarang dapat Rp500 ribu saja susah,” keluh Slamet (52), pedagang lainnya. Para pedagang menduga beberapa faktor menjadi penyebab sepinya pembeli. Selain cuaca yang tidak menentu, daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi dan tekanan ekonomi menjadi alasan utama. “Orang-orang sekarang lebih fokus pada kebutuhan pokok. Bendera dan dekorasi hanya prioritas kesekian. Bahkan ada RT yang dulu langganan beli 100-an bendera, sekarang cuma pesan 30,” tambahnya. Meningkatnya Persaingan Online Kondisi ini juga diperparah dengan meningkatnya persaingan dari penjual daring. Banyak warga yang kini lebih memilih membeli pernak-pernik HUT RI lewat e-commerce karena dianggap lebih praktis dan sering menawarkan harga miring. “Sekarang saingannya bukan cuma pasar lain, tapi juga online shop. Mereka bisa jual murah karena mungkin produksi sendiri atau tidak bayar sewa tempat,” kata Rina. Padahal, para pedagang Pasar Mester ini sebagian besar adalah pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari momen-momen musiman seperti ini. Ketika omzet tak sesuai harapan, beban ekonomi pun semakin berat. Harapan untuk Pemerintah dan Warga Meski tertekan dengan kondisi saat ini, para pedagang tetap berharap masih ada lonjakan pembeli mendekati 17 Agustus. Mereka juga berharap ada perhatian dari pemerintah, baik berupa promosi pasar tradisional maupun insentif untuk para pedagang kecil. “Kami tidak butuh bantuan besar, cukup diberikan ruang promosi dan diberi kesempatan bersaing dengan sehat. Kalau bisa juga ada acara di pasar agar ramai,” kata Slamet penuh harap. Selain itu, mereka mengajak masyarakat untuk turut serta menjaga tradisi semangat kemerdekaan dengan menghias rumah dan lingkungan. “Kalau bukan kita yang meriahkan Agustusan, siapa lagi? Ini bukan cuma soal jualan, tapi soal semangat kebangsaan,” ujar Rina. Sepinya pembeli pernak-pernik 17 Agustus di Pasar Mester menjadi gambaran nyata bahwa semangat perayaan kemerdekaan kini mulai tergeser oleh prioritas ekonomi. Para pedagang hanya bisa berharap lonjakan pembeli akan datang dalam waktu dekat agar mereka tetap bisa bertahan. Pasar tradisional seperti Mester bukan hanya tempat jual beli, tetapi juga bagian dari denyut semangat nasionalisme rakyat kecil yang perlu dijaga bersama.